Google Translate memberi pengalaman dan wawasan baru kepada saya bahwa saat terdesak kita sebenarnya bisa survive dengan cara yang mungkin kadang terlihat sepele. Dulu saya memang kurang perhatian dengan layanan Google yang satu ini, tetapi setelah mendapat suatu pengalaman yang bisa dibilang konyol membuat saya mengubah pandangan terhadapnya.
Perlu diketahui bahwa Google translate adalah suatu layanan Google untuk menterjemahkan suatu kata atau kalimat dari bahasa tertentu ke bahasa lainnya. Maka tidak heran apabila aplikasi ini baru akan terasa ada gunanya apabila kita sedang berada pada kondisi harus segera memahami atau menyampaikan maksud dalam bahasa lain.
Sebenarnya kalau bisa memilih maka saya lebih suka menghafal kosa kata bahasa lain dari pada harus mengandalkan suatu aplikasi atau tool. Tapi saya juga sadar bahwa kita bisa menghadapi kondisi darurat sewaktu-waktu, dan sebagaimana setiap manusia biasa dengan keterbatasannya masing-masing, maka untuk surfive boleh saja menggunakan alat yang sudah tersedia apalagi gratis.
Jadi ceritanya terjadi beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang berada di Negeri Gajah Putih.
Saat suatu malam di kota Bangkok, saya ingin jalan-jalan dengan seorang teman saya untuk mengamati kehidupan sosial masyarakat lokal disana. Berbeda dengan turis yang biasanya ke tempat wisata, saya memang ingin mengenal bagaimana keseharian masyarakat disana. Kami saat itu memang sengaja memilih jalan masuk ke gang atau kampung agar dapat membaur dengan masyarakat.
Setelah lama berjalan di wilayah pemukiman penduduk, tibalah kami di area pinggir sungai yang diterangi dengan banyak lampu. Cahaya terang lampu itu tidak hanya berasal dari rumah penduduk tapi ada beberapa lampu yang sengaja dipasang dipinggir sungai.
Berbeda dengan kebiasaan di negeri kita ini dimana masyarakat melakukan mobilisasi lebih banyak melalui jalan darat, disana masyarakat Bangkok masih banyak yang mengandalkan moda transportasi air lewat sungai.
Saat itu kami tertarik dengan sebuah warung ditepi sungai yang ramai sekali dikunjungi muda mudi. Kami langsung berfikir kalau itu adalah cafe yang menyediakan minuman dan makanan kecil yang banyak dinikmati masyarakat umum. Karena haus setelah lama berjalan kaki, maka kamipun bergegas kesana.
Sampai diwarung tersebut kami memperhatikan ternyata ada menu dengan gambar kopi dan beberapa makanan yang kami tidak paham bagaimana itu yang ditulis daftar menu. Kemudian kami mencoba berinteraksi dengan pelayan menggunakan bahasa Inggris untuk memesan beberapa menu.
Setelah memesan beberapa menu pelayan tersebut terlihat bingung. Ternyata pelayan tersebut malah gak paham. Tidak kurang akal maka kami memesan menu dengan bahasa isyarat yaitu tinggal tunjuk menu dan acungan jari tanda jumlah pesanan, syukurlah akhirnya pelayan itu dapat mengerti maksud kami. Sampai disitu saya dan teman saya mencari tempat duduk dan bercakap-cakap mengenai perjalanan kami dan tujuan berikutnya.
Saat pesanan kami datang, pelayanan yang membawakan pesanan tersebut terlihat menyimak percakapan kami dan manggut-manggut agaknya mengerti dengan apa yang kami bicarakan. Saya cukup kaget karena saya dan teman saya saat itu bercakap dengan bahasa Indonesia. Saya mencoba interaksi kembali dengan pelayan tersebut menggunakan bahasa Indonesia, dan reaksinya bukan segera menjawab tapi dia malah memanggil teman-temannya ternyata mereka lebih paham bahasa Indonesia.
Walhasil kamipun berbincang sejenak dimana ternyata mereka adalah orang-orang dari Thailand bagian selatan sehingga banyak yang menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa keseharian. Mereka banyak merantau ke Bangkok untuk mencari peruntungan. Maka tidak heran apabila banyak yang lebih mengerti bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris disana. Walaupun tidak persis sama tapi kurang lebih mirip seperti kita nonton Ipin dan Upin.
Kamipun dipersilahkan menikmati sajian minum kopi dan teh. Padahal sebenarnya kami pesan kopi saja diwarung tersebut, setelah melihat cara minum kopi pengunjung yang lain ternyata cara minum kopi diwarung itu agak unik. Yaitu kopi ditemani dengan teh tanpa gula. Karena memang penyajiannya pesan kopi maka diberi lengkap dengan teh dan tatacaranya disana demikian maka kami ikuti saja.
Minum secangkir kopi disana ternyata gak ada manis-manisnya sama sekali, beda dengan di Indonesia yang mana air mineral saja "ada manis-manisnya". Untuk menawarkan rasa pahit itu ternyata caranya minum sedikit teh dengan gelas kecil seukuran sloki. Cara unik ini ternyata membuat rasa minum kopi disana menjadi lebih nikmat.
Setelah puas ngopi dan berbicang kamipun bergegas membayar dan bermaksud segera balik kembali ke hotel tempat kami menginap karena memang sudah lepas tengah malam. Hampir semua pelayan disana memberi salam perpisahan yang membuat saya dan teman saya jadi terharu.
Kamipun kembali berjalan dengan rute yang sama dengan arah sebaliknya dengan saat kami berangkat. Setelah berapa saat, akhirnya sampailah kami diarea hotel tempat kami menginap. Nah disinilah akan terjadi kejadian yang lebih unik lagi.
Saat kami sampai di hotel ternyata pintu utama penginapan tersebut sudah ditutup dan lampu-lampu telah dipadamkan sebagian. Saya baru tahu kalau hotel disana lampunya dimatikan hanya menyisakan beberapa lampu dengan cahaya redup saja sebagian kalau malam. Karena pintu utama sudah tertutup maka untuk masuk hotel kami harus masuk melalui pintu samping dan lorong yang melewati ruang sekuriti.
Oleh seorang sekuriti kami ditanyai dan ternyata kami tidak diperbolehkan masuk tanpa menunjukkan bukti sebagai tamu hotel. Kami memang masing-masing kebetulan tidak membawa kunci hotel atau apapun yang dapat menunjukkan bahwa kami adalah tamu hotel itu.
Sekedar info kalau saya dan teman saya tersebut tidak sekamar dan masing-masing ada teman lain yang sudah istirahat duluan dikamar. Masalahnya kami tidak ingin mengganggu teman kami yang sudah bobo buat repot-repot bantu kami agar bisa masuk hotel ditengah malam.
Kami pun mencoba menjelaskan sebisa kami dengan bahasa Inggris, tapi seperti kejadian di warung tadi ternyata sekuriti juga gak paham bahasa Inggris. Berbekal pengalaman tadi, kemudian kami coba pakai bahasa Indonesia mungkin saja sekurity jadi paham. Eh ternyata dia tetap gak paham, karena mungkin tampaknya kami berusaha menjelaskan dengan gigih. Maka kami dibawa kebagian resepsionis agar kami dapat menjelaskan bahwa kami adalah tamu dengan nomor kamar masing-masing.
Di meja resepsionis kami bertemu dengan seorang cewek yang sepertinya sedang sibuk sekali menghitung sesuatu, entah apa itu dalam bukunya. Kami mencoba menjelaskan padanya dengan pelan-pelan mungkin saja mereka gak paham karena kami ngomongnya kecepetan. Walaupun ternyata endingnya tetap saja gak paham.
Setelah panjang lebar gak ada hasil, pada akhirnya teman saya berinisiatif untuk mentranslate bahasa Indonesia ke bahasa Thai dengan Google Translate.
ilustrasi translate bahasa, saat itu yang kami tulis tentu lebih menarik
Awalnya saya pesimis dengan cara yang dilakukan oleh teman saya, tapi gak ada salahnya juga dicoba. Dan setelah ditulis lalu diterjemahkan melalui Google translate, kemudian muncul aksara mirip tulisan huruf Jawa yang "mlungker-mlungker" itu.
Saat teman saya menunjukkan tulisan itu ke resepsionis, sang cewek itupun tidak langsung bereaksi kecuali cuma senyum beberapa detik. Nah saat melihat dia tersenyum saya dan teman saya secara gak sadar juga ikutan senyum.
Tapi sebentar.. saya dan teman saya kok jadi Ge-er, apa mungkin kalimat yang ditranslate artinya jadi lain?
Beberapa saat kemudian sang resepsionis pun memberi kami ijin untuk pergi menuju kamar ditemani dengan sekuriti tadi. Syukurlah akhirnya kamipun diantar sampai depan kamar.
Saya jadi mikir, ternyata bahasa Inggris yang saya kira bisa kami andalkan sebagai bahasa internasional, ternyata gak laku di Thailand. Syukur Alhamdulillah Tuhan masih menolong lewat Google Translate. Kan gak lucu juga kalau pesan kamar lagi, sedangkan barang-barang kami sudah ada didalam kamar lain.